Tuesday 26 May 2015

Amankah Latihan Fisik dengan EMS?

Dian Maharani/Kompas.comSalah satu gerakan latihan dengan teknologi Electro Muscle Stimulation (EMS) dengan alat Miha Bodytec di 20FIT Central Park, Ruko Garden Shopping Arcade, Jakarta Barat, Jumat (20/2/2015).
JAKARTA, KOMPAS.com – Latihan fisik dengan Electro Muscle Stimulation (EMS) mulai banyak diminati masyarakat perkotaan. Latihan ini hanya berlangsung selama 20 menit untuk mendapatkan hasil yang sama dengan olahraga di gym selama 1,5-2 jam.
Latihan tersebut dilakukan dengan menggunakan alat untuk menstimulasi otot-otot dalam tubuh. Namun, amankah melakukan latihan EMS?
Salah satu pendiri studio olahraga EMS, 20FIT,  Andien Aisyah pun memastikan, latihan EMS sangat aman dilakukan. Latihan ini telah dilakukan di berbagai negara menggunakan alat Miha Bodytech, termasuk di Indonesia.
“(Latihan ini) Enggak bisa membuat orang menjadi cedera karena dengan tangan kosong, enggak angkat-angkat beban,” terang Andien Selasa (26/5/2015).
Andien mengungkapkan, pada awalnya alat ini digunakan untuk mengobati pasien stroke dan mengobati nyeri punggung atau back pain. Seiring berkembangnya teknologi, alat dengan metode  EMS itu pun dijadikan sebagai alat fitness dan untuk kecantikan.
Oleh sebab itu, latihan EMS dinyatakan aman untuk dilakukan oleh siapa pun, termasuk orang lanjut usia. Andien menceritakan, pernah ada pengguna 20FIT berusia 81 tahun. Latihan fisik EMS pun dilakukan dengan posisi duduk saja. Menurutnya, EMS dapat kembali menguatkan otot-otot orang tua yang melemah karena jarang dipakai. 

Sama seperti olahraga lainnya, menurut Andien sebaiknya melakukan EMS saat memiliki tidur yang cukup dan tidak sehabis makan.

Salah satu pemilik 20FIT lainnya, Irfan Wahyudi mengatakan, olahraga dengan EMS terbilang aman karena membantu menstimulasi otot.
Hanya saja, orang-orang yang memiliki penyakit eilepsi, memasang ring di jantung, tidak disarankan melakukan olahraga ini. 
Penulis: Dian Maharani
Editor: Lusia Kus Anna

Monday 25 May 2015

Ingin Kulit Bercahaya? Ini Rahasianya

KOMPAS. com - Di antara semua promosi makanan sehat, umumnya akan mengatakan bahwa makanan tersebut dapat membuat kulit Anda tampak menakjubkan. Sayangnya, tak semua hal itu benar. Madeline Shaw, seorang ahli nutrisi ternama berbagi rahasia, makanan apa yang tepat untuk kesehatan dan kecantikan kulit Anda.
Makanan berlemak menyebabkan bercak wajah
Ini tidaklah benar. Makanan berlemak seperti alpukat dan kacang-kacangan punya manfaat menakjubkan untuk kesehatan kulit. Apalagi lemak omega 3 yang terkandung dalam ikan, asam lemaknya terbukti mampu mengurangi peradangan, mencegah kulit dari penyumbatan, dan membuat kulit lebih bercahaya. Pada dasarnya, ini memang tergantung pada jenis lemak yang Anda konsumsi, apakah lemak jenuh atau lemak tak jenuh. Yang perlu diingat adalah, tak semua jenis lemak berefek buruk pada tubuh Anda.
Konsumsi 5 porsi buah dan sayur per hari
“Mengonsumsi 7 porsi per hari lebih baik,” ujar Madeline.  Buah-buahan dan sayuran dipenuhi dengan kandungan antioksidan yang akan mencegah dan memperbaiki keruakan jaringan tubuh. Sumber antioksidan terbaik adalah blueberry, stroberi, dan kale. Pastikan Anda mengonsumsi buah-buahan dan syuran utuh,  yang belum melalui proses pengawetan. Ini akan menjaga manfaat yang terkandung di dalamnya.
Minum 8 gelas air per hari
“Ini tidak salah lagi. Kulit adalah organ terbesar dan seperti bagian tubuh lainnya, tanpa air yang cukup, tubuh takkan berfungsi  sebagaimana mestinya. Kulit akan kering dan bersisik. Air yang kita minum akan mencapai semua organ tubuh, sebelum akhirnya sampai ke kulit. Jadi, pastikan Anda mengonsumsi cukup air untuk melembabkan dan membuat kulit bercahaya,” papar Madeline.
Gula dapat mempercepat penuaan
Mengonsumsi terlalu banyak gula akan menyebabkan peradangan kronis dalam tubuh. Gula secara permanen dapat menyerang kolagen, zat yang dapat membuat kulit awet muda. Ketika kolagen terbebani oleh glukosa, maka kolagen akan kaku dan sulit bergerak, ini menyebabkan kulit kusam, kering, dan penuaan.
Cokelat memicu noda jerawat
“Ini tergantung jenis cokelat yang dikonsumsi. Cokelat  dengan campuran susu dan gula memang bisa memicu munculnya jerawat, tapi mengonsumsi dark chocolate dengan sedikit tambahan gula kelapa takkan menjadi masalah bagi kulit Anda kok,” ungkap Madeline.
Jadi, apa rahasia utama mendapatkan kulit bercahaya?
“Konsumsi sumber makanan murni yang tanpa melalui proses pengalengan dan pengawetan. Selalu pilih makanan bergizi tinggi seperti sayuran, buah, kacang-kacangan, ikan, dan daging pemakan rumput. Lemak sehat seperti alpukat, minyak zaitun dan minyak kelapa akan memberikan efek luar biasa bagi kulit Anda. Selain itu, manajemen stres juga menjadi kunci kesehatan kulit, seperti yoga, latihan pernapasan, atau meditttasi akan membantu Anda merasa lebih tenang. Dalam keadaan tenang, kulit pun akan terlihat lebih bercahaya,” jelas Madeline.
Editor: Bestari Kumala Dewi
SumberCosmopolitan UK

5 Hal Seputar Kolesterol yang Perlu Anda Tahu

KOMPAS.com - Kolesterol adalah kata yang akrab dalam keseharian kita. Ketakutan pada kolesterol juga menjadi alasan mengapa banyak orang takut mengonsumsi makanan tertentu. Tetapi sebenarnya tak banyak orang yang benar-benar tahu mengenai kolesterol dan pengaruhnya pada kesehatan.

Ketahui apa saja hal penting seputar kolesterol.

1. Hanya ditemukan pada produk hewani
Ada dua tipe, yakni kolesterol darah dan kolesterol dari makanan. Kolesterol dari makanan ditemukan pada makanan dan hanya yang berasal dari produk hewani. Ini karena tubuh hewan secara alami memproduksi kandungan seperti lemak. 

Ketika kita mengonsumsi makanan yang berasal dari hewan (telur, daging, makanan laut), kita akan menelan kolesterol yang diproduksi oleh tubuh hewan. Sementara itu, bahan makanan yang berasal dari tanaman tidak mengandung kolesterol. 

2. Kolesterol diperlukan untuk kesehatan
Walau kita tidak makan produk hewani sama sekali, kita akan tetap memiliki kolesterol dalam tubuh. Ini karena organ liver memproduksi kolesterol yang memang dibutuhkan untuk berbagai fungsi, termasuk membuat hormon, vitamin D, dan zat-zat untuk mencerna makanan. 

Walau fungsi kolesterol termasuk penting, tetapi ia tidak digolongkan dalam nutrisi esensial (ditambahkan dari makanan), seperti halnya vitamin C atau potasium. Ini karena tubuh kita sudah memproduksi kolesterol yang diperlukan. Dengan kata lain, sebaiknya batasi makanan mengandung kolesterol.

3. Ada kolesterol "baik" dan "jahat"
Dua jenis kolesterol ini, yang baik (HDL) dan yang jahat (LDL) mungkin sudah sering Anda dengar.  HDL dan LDL pada dasarnya adalah pembawa kolesterol yang disebut lipoprotein. HDL disebut baik karena ia bekerja mengambil kolesterol yang menempel di pembuluh darah dan dibawa kembali ke liver untuk dibuang dari tubuh. 

LDL sebaliknya. Terlalu banyak kolesterol jenis ini bisa menyebabkan penumpukan plak dan membuat pembuluh darah menyempit atau tersumbat. Efeknya adalah serangan jantung atau stroke.

4. Kolesterol dari makanan mungkin tak berpengaruh banyak
Dahulu para ahli menyebutkan bahwa kolesterol yang berasal dari makanan akan membuat kadar kolesterol yang diproduksi tubuh meningkat. Kondisi tersebut tentu berbahaya, karena terlalu banyak kolesterol akan meningkatkan risiko serangan jantung.

Selama bertahun-tahun para ahli gizi di AS merekomendasikan pembatasan kolesterol dari makanan tidak lebih dari 300 mg perhari. Padahal, dalam satu kuning telur terkandung 185 mg, dalam 3 ons udang terkandung 130 mg, dan 2 ouns daging tanpa lemak mengandung 60 mg kolesterol. 

Tetapi dalam laporan terbarunya, para ahli gizi tak lagi menganggap perlu pembatasan kolesterol dari makanan. Ini karena penelitian menunjukkan bahwa tak ada kaitan kuat antara konsumsi kolesterol dari makanan dan kadar kolesterol darah. 

5. Lemak jenuh terkait kadar kolesterol
Walau kolesterol dari makanan tak langsung meningkatkan kadar kolesterol dalam darah, tapi tidak demikian halnya dengan makanan sumber lemak jenuh. 

Pada dasarnya pedoman gizi yang baru ini menunjukkan bahwa jika kita ingin mengonsumsi makanan mengandung kolesterol seperti telur, sebaiknya kita juga mengasup makanan bernutrisi dari tanaman, seperti sayuran atau alpukat. Kombinasikan juga dengan buah-buahan, ubi, atau sumber serat. 


Editor: Lusia Kus Anna
SumberTime

Perlambat Kenaikan Kolesterol dengan Olahraga


KOMPAS.com - Tak terhitung banyaknya penelitian yang menunjukkan manfaat dari olahraga. Memang, baiknya olahraga sudah rutin dilakukan sedari muda. Tetapi, bila olahraga baru dijalani ketika usia sudah merambat naik, tetap ada manfaat yang diperoleh kok. 

Salah satunya, kejadian kolesterol tinggi yang berkaitan dengan usia dapat diperlambat. Ini berarti risiko untuk kejadian penyakit jantung misalnya, dapat dikurangi. 

Hasil penelitian terbaru menjumpai bahwa pria yang melakukan olahraga aerobik, kejadian kolesterol tinggi terkait usia dapat ditunda. Temuan ini diperoleh setelah para periset meneliti data dari sekitar 11 ribu pria antara tahun 1970-2006 di sebuah klinik di Dallas.  

Secara periodik mereka diambil darahnya guna dites kadar kolesterol. Secara rata-rata, setiap pria setidaknya menjalani tiga pemeriksaan kolesterol dan tingkat kebugaran. Mereka juga diminta untuk berlari di treadmil untuk mengukur kebugaran kardiorespiratorinya. 

Pria yang lebih baik dalam tes kebugaran, lebih cenderung memiliki kadar kolesterol total lebih rendah, juga kadar LDL (sering disebut sebagai kolesterol jelek) yang lebih rendah. Selain itu, pria yang lebih bugar juga memiliki kadar kadar HDL (dikenal sebagai kolesterol baik) yang lebih tinggi. 

Pria dengan tingkat kebugaran kardiorespiratori lebih tinggi memiliki profil kolesterol lebih baik dibandingkan yang kurang bugar dari usia 20-an dini hingga awal 60-an. Sementara itu, dalam waktu yang sama, pria dengan tingkat kebugaran lebih rendah mencapai kadar kolesterol abnormal sebelum usia 40 tahun. 

Temuan ini, dikatakan Dr. Usman Baber, periset kardiovaskuler di Icahn School of Medicine, Mount Sinai, New York, memperkuat pentingnya pria muda hingga usia pertengahan memasukkan olahraga aerobik rutin sebagai bagian dari gaya hidup sehat. 

"Studi ini, ditegaskan Dr. Paola Boffetta, periset di Ichan School of Medicine, Mount Sinai, menambah bukti yang mendukung manfaat dari aktivitas fisik dalam mencegah penyakit yang cenderung muncul sejalan usia."

Tidak peduli seberapa tua seorang pria saat berolahraga, mereka bisa mendapat manfaat di setiap tahapannya. Tentunya, semakin muda mereka memulai olahraga, kejadian kolesterol tinggi menjadi lebih lambat, terutama seeblum usia 60 tahun di kala kolesterol cenderung meningkat sejalan usia. 

Guna mencapai tingkat kebugaran yang dibutuhkan dalam menghindari kolesterol tinggi terkait usia, Dr. Xuemei Sui, periset ilmu olah raga diArnold School of Public Health, University of South Carolina, para pria sebaiknya melakukan aktivitas moderat 150 menit setiap minggu atau 75 menit untuk aktivitas kuat. Aktivitas yang bisa dilakukan di antaranya seperti jalan kaki, berlari, berenang, atau bersepeda.
Penulis: Kontributor Health, Diana Yunita Sari
Editor: Lusia Kus Anna
Sumber: Reuters

Konsumsi Obat Hipertensi Pengaruhi Kualitas Ereksi?



TANYA:

Dok, saya pria berusia 52 tahun. Saat ini saya agak susah payah mendapatkan ereksi yang sempurna. Selain lembek, saya juga mengalami ejakulasi dini sehingga hubungan seks dengan istri menjadi terganggu. Istri juga mulai protes.

Mohon saran dokter bagaimana agar saya bisa perkasa lagi, apakah ini ada pengaruhnya dengan konsumsi obat hipertensi dan obat asam urat? Kenapa saat saya menderita prostat di usia 40-45 tahun saya justru lebih mudah ereksi, bahkan bisa berhubungan sampai 4 kali sehari. Saya sampai dibilang mengalami puber kedua. Mohon penjelasannya dok.

JAWAB:

Gangguan ereksi memang merupakan masalah yang dialami pria dari berbagai golongan umur. Tetapi semakin lanjut usia, semakin banyak yang mengalami. Penyebabnya bermacam-macam, antara lain berkurangnya hormon testosteron, gangguan pembuluh darah dan syarat karena penyakit tertentu, efek samping obat, dan pola hidup tidak sehat.

Obat hipertensi tertentu yang digunakan dalam waktu lama juga memberikan efek samping gangguan ereksi. Dalam keadaan ereksi terganggu, ejakulasi memang cenderung cepat terjadi.

Pembesaran prostat biasa terjadi pada usia lanjut. Tetapi keadaan ini tidak selalu berakibat pada gangguan ereksi. Tetapi obat untuk pembesaran prostat dapat menimbulkan gangguan ereksi.

Saya sarankan Anda berkonsultasi kepada tenga ahli untuk mengetahui apa yang sebenarnya terjadi agar mendapat pengobatan yang tepat. 
Editor: Lusia Kus Anna

Turunkan Berat Badan dengan Kacang

KOMPAS.com - Berulang kali menjalani berbagai program diet, tapi merasa hasilnya kurang maksimal? Coba ganti makanan utama dengan kacang. Hasil studi terbaru menyatakan, kacang mampu menekan rasa lapar.
Saat ini, bisa dibilang kacang adalah salah satu cara terbaik menurunkan berat badan. Berdasarkan hasil studi terbaru di Inggris yang dipublikasikan oleh Daily Mail mengungkapkan, dari 31 studi, ditemukan bahwa orang-orang yang diet dengan mengonsumsi kacang untuk menggantikan makanan utamanya, mampu menurunkan 1,4 pon (1 pon=0,453 kg) berat badan mereka. Rata-rata dari mereka mampu mengecilkan setengah inci lingkar pinggang mereka.
Dalam studi lain dikatakan, para peneliti menganalisis perubahan dalam kebiasaan diet dan gaya hidup dari 120.877 orang setiap empat tahun selama dua dekade. Hasilnya, rata-rata berat badan mereka akan mengalami kenaikan sekitar 17 pon dalam jangka waktu 20 tahun.
Lebih lanjut, tim peneliti tersebut membandingkan kacang dengan keripik. Menurutnya, kenaikan berat badan yang dialami oleh peserta survei adalah karena keripik. Jika dibandingkan dengan keripik, kacang dianggap lebih baik.
Hal ini disebabkan, karena karbohidrat yang terkandung dalam makanan seperti keripik, dapat memicu kenaikan gula darah yang kemudian dapat menyebabkan rasa lapar terus menerus ketika dimakan.
Ini sangat berbeda dengan kacang. Para ahli percaya, karena seratnya yang tinggi maka kacang tidak menyebabkan kenaikan sirkulasi darah. Selain itu, kacang juga dianggap relatif lebih sehat, karena umumnya dijual secara alami. Berbeda dengan keripik yang dijual setelah melewati berbagai proses sesuai dengan kebutuhan.
Di sisi lain, kacang dikenal memiliki efek positif terhadap nafsu makan, karena kandungan proteinnya sangat tinggi.
Editor: Lusia Kus Anna
Sumber: Intisari Online

Pria Lebih Sering Lupa Dibanding Wanita

KOMPAS.com - Sifat pelupa ternyata lebih banyak dialami pria dibanding wanita. Kebiasaan ini terlepas dari berapapun usia mereka, baik 30 maupun 60 tahun.

Hasil kajian yang dilakukan peneliti dari Norwegian University of Science and Technology (NTNU) ternyata mengejutkan perisetnya sendiri.
"Hal ini tidak pernah didokumentasikan sebelumnya. Sangat mengagetkan ternyata pria lebih pelupa daripada wanita, terlepas dari berapapun usianya," kata peneliti Jostein Holman.

Dalam riset ini, peneliti mengajukan 9 pertanyaan untuk melihat seberapa baik kemampuan mengingat seseorang. Studi ini merupakan bagian dari penelitian kesehatan skala besar yang diadakan di Norwegia. Studi yang disebut HUNT3 ini melibatkan kurang lebih 48 ribu responden.

Pertanyaan tersebut meliputi seberapa sering responden memiliki masalah dalam mengingat, apakah mereka bermasalah dalam mengingat nama dan tanggal, serta apakah mereka ingat apa yang dilakukannya setahun lalu. Pertanyaan terakhir adalah apakah mereka mampu mengingat detail suatu percakapan. Hasilnya, 8 dari 9 orang pertanyaan yang diajukan sangat sulit dijawab.

"Kami banyak berspekulasi mengenai penyebab pria melaporkan lebih banyak masalah dalam mengingat dibanding wanita. Namun kami belum menemukan jawabannya. Sampai saat ini hal tersebut masih merupakan misteri," kata Holmen.

Menurut peneliti, kendati wanita memiliki kemampuan mengingat yang lebih baik, mereka berusaha keras mengingat nama dan tanggal. Hasil riset ini juga mengatakan, angka kejadian adanya masalah dalam mengingat semakin meningkat seiring usia. Peningkatan mulai terjadi saat usia melewati 60 tahun, baik pada pria maupun wanita.      

Selain pria yang lebih pelupa, riset ini juga menemukan orang yang gelisah dan depresi lebih mudah mengalami lupa. Lupa juga lebih berisiko dialami orang yang berpendidikan rendah, dibanding yang berpendidikan tinggi.

Riset terkait masalah ingatan ini masih terus berlanjut. Saat ini, peneliti tengah berusaha menemukan, apakah ada hubungan antara kebiasaan lupa di usia muda dan demensia ketika tua.
Penulis: Rosmha Widiyani
Editor: Asep Candra
Sumber: dailymail

Kecerdasan Lebih Menarik daripada Ukuran Payudara


KOMPAS.com — Ketika mencari seorang istri, pria nyatanya lebih mempertimbangkan isi otak daripada ukuran payudara. Pasalnya, otak mencerminkan tanggung jawab seorang wanita ketika menjadi ibu. 
Demikian pendapat ahli biologi evolusioner Prof David Bainbridge. Ia juga mengatakan, otak mengindikasikan bahwa seorang wanita dibesarkan oleh orangtua yang pandai, dan diasuh dengan benar saat anak-anak.
"Ternyata daya tarik lainnya pada wanita, seperti kaki panjang, tidak berarti bagi pria," kata Bainbridge. Menurut dia, pria hanya menghargai bentuk-bentuk tubuh yang simetris karena menandakan bahwa si calon istri adalah seseorang yang muda, sehat, dan memiliki gen stabil. Alhasil, pria bahkan tak tertarik pada ukuran payudara wanita karena jarang sekali ada ukuran yang simetris.
Soal kaki, faktor terpenting bagi pria adalah bentuknya yang lurus. Bentuk yang tak normal menandakan gangguan pertumbuhan ketika anak-anak.
"Ukuran payudara itu tidak penting. Payudara besar cenderung tak simetris, dan pria lebih tertarik pada kesimetrisan. Payudara itu menua lebih cepat, sementara pria menghargai kemudaan," katanya.
Pria pun tak mencari kaki panjang. Kaki lurus adalah tanda genetika yang sehat. "Survei pun membuktikan, sebagian besar pria menyukai panjang kaki yang normal," katanya.
"Hal utama yang dicari pria adalah kecerdasan. Survei membuktikan sekali lagi, kecerdasan adalah hal yang pertama dicari pria. Kecerdasan menunjukkan bahwa seorang wanita akan mampu mengasuh anak-anaknya. Dengan orangtua yang cerdas, anak-anak akan diasuh dengan baik," imbuhnya.
Penulis: Kontributor Health, Dhorothea
Editor: Bestari Kumala Dewi
Sumber: Daily Mail

Sunday 24 May 2015

Android: Mendapatkan Penghasilan dari Google Admob

SmartPhone Android saat ini sudah merajai pasar ponsel di tanah air, bahkan di seluruh dunia secara global. Aplikasi dan game Android saat ini sudah sangat banyak sekali dan dengan mudah dapat kita unduh; baik itu melalui handset Android maupun melalui PC.
Developer lokal aplikasi Android pun saat ini sudah mulai bertumbuh dengan pesat. Bagi mereka yang memiliki latar belakang IT khususnya bahasa pemrograman Java, mungkin akan dengan sangat cepat beradaptasi dengan Android SDK untuk membuat sebuah aplikasi Android.
Tapi tahukah Anda, bahwa saat ini juga sudah ada beberapa platform yang dapat kita gunakan untuk membuat aplikasi Android dengan sangat mudah, tanpa harus mengerti bahasa pemrograman (coding) yang sangat njelimet. Dan hebatnya lagi, aplikasi yang kita buat nantinya bisa di-monetize (menghasilkan uang) dengan mengikuti program periklanan milik Google Admob. Berikut ini kami ambilkan gambar dari salah satu aplikasi Android yang di-monetize dengan program periklanan dari Google Admob:


13826940841159268904

Pernahkan Anda memperhatikan berapa banyak sebuah aplikasi Android diunduh di handset Android? Bisa puluhan ribu hingga jutaan kali download. Akan tetapi, angka yang ada di Google Play Store tersebut tidak menandakan bahwa aplikasi Android tersebut digunakan sepenuhnya oleh pengguna yang telah mengunduhnya. Menurut pengamatan kami, jika sebuah aplikasi Android diunduh (misalnya 1.000 kali) maka aplikasi yang masih aktif (yang tidak diuninstall) ada sekitar 50% nya atau sekitar 500-an.
Jika Anda memiliki sebuah aplikasi Android yang digunakan secara aktif oleh 500 pengguna per hari dan mendapatkan klik iklan yang berharga sekitar Rp.300,- sampai Rp.500,-, berapa kira-kira penghasilan iklan Anda? Sekitar Rp.150.000 hingga Rp.250.000 per hari. Nah, jika ada sebuah aplikasi Android yang telah diunduh oleh lebih dari 1 juta kali, kira-kira bagaimana ya?
Sebagai informasi, untuk saat ini developer aplikasi Android lokal belum bisa mempublish aplikasi Android yang berbayar. Artinya, jika developer aplikasi Android lokal ingin mendapatkan penghasilan dari aplikasi Android yang dibuatnya, maka solusinya lewat program periklanan dari Google Admob. Proses pendaftarannya mudah, dalam 10 menit bisa langsung jadi asalkan koneksi internet Anda lancar.
Jika Anda berminat, silakan pelajari di TaktisAndroid.com. Di sana mengajarkan membuat aplikasi Android tanpa coding. Selain dalam format ebook PDF, juga disediakan dalam format video yang saat ini masih dalam tahap pembuatan.
Semoga bermanfaat – Salam bahagia.

Wednesday 20 May 2015

1 in 3 Adults Have Potentially Dangerous Medical Condition

A doctor measures the waistline of one of her overweight patients.
Credit: JPC-PROD/Shutterstock.com
More than a third of adults in the U.S. have a condition called "metabolic syndrome," which involves a combination of risk factors such as high blood pressure, diabetes and obesity, according to a new study.
In the study, researchers looked at data from 2011 and 2012 and found that about 35 percent of U.S. adults had metabolic syndrome (also known as Syndrome X). The health conditions that are the components of metabolic syndrome may contribute to the development of cardiovascular disease and even premature death, the researchers said.
"That's a scary percentage — that a third of adults have it," said study author Dr. Robert J. Wong, of the Alameda Health System-Highland Hospital in Oakland, California.
Although the researchers knew that obesity affects more than a third of adults in the U.S., Wong said that before the new results, he thought that the percentage of people with metabolic syndrome "would be a little bit less."
What is metabolic syndrome?
To have metabolic syndrome, a person must have at least three of the five conditions that are considered to be "metabolic risk factors," according to the National Institutes of Health. The five conditions are: a large waistline, a high level of triglycerides (a type of fat found in the blood), a low level of "good" HDL cholesterol, high blood pressure and a high level of blood sugar after fasting.
In the study, the researchers examined data from the National Health and Nutrition Examination Survey collected between 2003 and 2012. In the survey, data are collected from not only interviews with the participants, but also physical exams. [9 Healthy Habits You Can Do in 1 Minute (Or Less)]
The researchers also found that the prevalence of the metabolic syndrome increased with age. They found that 47 percent of people ages 60 and older had metabolic syndrome, compared with 18 percent of people ages 20 to 39.
Among people ages 60 and older, more than 50 percent of women, and more than 50 percent of Hispanics, had the syndrome.
The effects of age
As the population in the U.S. continues to age, "a large proportion of them will have metabolic syndrome, and be at risk for major diseases such as heart disease, [nonalcoholic] fatty liver disease and associated diabetes," Wong told Live Science. (Nonalcoholic fatty liver disease is a condition in which excessive fat accumulates in liver cells. In severe cases, it may lead to liver failure.)
One possible reason for the increase in the metabolic syndrome with age may be that people's metabolism slows down as they get older, the researchers said. As a result, they may gain weight more easily, which puts them at a higher risk for individual components of the syndrome such as high blood pressure, diabetes, abnormal lipid levels and obesity, Wong said.
The results also showed that the prevalence of metabolic syndrome among U.S. adults increased from 32.9 to 34.7 percent between 2003 and 2012.
When the researchers examined the data focusing on ethnicity, they found the highest rates of metabolic syndrome were among Hispanics, followed by non-Hispanic whites and then blacks.
The new results emphasize the importance of exercise and weight-loss programs based on diet in improving individual conditions that are part of metabolic syndrome.
"Just because you have metabolic syndrome does not mean that you can't reverse it," Wong said.
The study was published today (May 19) in the Journal of the American Medical Association.
Follow Agata Blaszczak-Boxe on Twitter. jefry_333, , Facebook & Google+. Originally published on Live Science.


Depression Linked with Parkinson's Disease Risk

An diagram of the human brain
Credit: Naeblys/Shutterstock.com
People who have been diagnosed with depression may have an increased risk of developing Parkinson's disease later on, a new study suggests.
In the study, researchers looked at about 140,000 people who had been diagnosed with depressionbetween 1987 and 2012. They matched each of them with three people of the same age and gender who had not been diagnosed with depression. The people in the study were all at least 50 years old by 2005.
The investigators followed the participants for 26 years, and found that 1 percent of the people with depression developed Parkinson's disease, whereas 0.4 percent of the people without depression developed the disease.
The researchers noted that Parkinson's disease is not common, even among people with depression. "Only a very little proportion of those with depression develop Parkinson's disease," said study author Peter Nordström, of UmeÃ¥ University in UmeÃ¥, Sweden. [3 Myths About Parkinson's Disease]
Still, the link should be studied further because the new study adds to the growing body of research connecting Parkinson's disease with certain other health conditions and personality traits. For example, a 2012 study presented at the American Academy of Neurology meeting that year showed that people who are cautious and avoid taking risksare more likely to develop the disease.
Parkinson's disease results from a loss of the brain cells that produce the chemical dopamine. The condition affects body movements — it causes tremors, rigid muscles and impaired balance. About 1 million people in the U.S. have Parkinson's, according to the Parkinson's Disease Foundation.
The new study also suggested that people who have depression and develop Parkinson's do so earlier than people who have not been diagnosed with depression. The people who had depression were 3.2 times more likely to develop Parkinson's disease within a year after the study started, compared with people who did not have depression.
Moreover, the more severe a person's depression, the greater their likelihood of developing Parkinson's disease. For example, people who had been hospitalized for depression were more than three times more likely to be diagnosed with Parkinson's disease than those who had depression but had not been hospitalized because of it. People who had been hospitalized for depression five times or more were 40 percent more likely to be diagnosed with Parkinson's disease than those who had been hospitalized for depression once.
It is not clear whether depression might cause Parkinson's disease, the researchers said. It is possible that depression affects the brain in some way that contributes to the likelihood of developing Parkinson's disease, Nordström told Live Science.
It could also be that the drugs used to treat people with depression, such as antidepressants or antipsychotics, raise a person's risk of developing the disease. Alternatively, depression may be a symptom that precedes the manifestation of Parkinson's disease, the researchers said.
The study was published today (May 20) in the journal Neurology.


How Dangerous are atareatmills ?


A woman running on a treadmill
Treadmills are the top selling piece of gym equipment in the US
It will surprise no-one familiar with the relentless whir of a treadmill to learn they were once used to a punish inmates in 19th century British workhouses.
Now, of course, no self-respecting gym is without one. They are comfortably the best-selling piece of gym equipment in the US.
They appeal to everyone from amateurs to Olympians, if nothing else, because it may seem a far more comfortable option than pounding the streets in the depth of winter.
But how safe are they?
The question has been raised by the sudden death of Silicon Valley entrepreneur, Dave Goldberg, who was found lying next to a machine at a Mexican resort.
The SurveyMonkey chief executive had slipped, banged his head and later died of his injuries.
Prisoners at a house of correction in Brixton in south London are forced to walk on a treadmill
Treadmills were used as a form of punishment in Britain during the 19th century 
About 24,000 people were admitted to US hospitals last year with treadmill-related injuries, the Consumer Product Safety Commission (CPSC) estimates, with slips and strains the most common causes.
But deaths are rare, with 30 reported deaths over a 12-year period to 2012, according to the CPSC, and not all of these are caused by hazards specific to treadmills. Some people suffer heart attacks from the exercise, for example.
Indeed, you are more likely to be killed by lightning than by exercising on a treadmill. According to the National Oceanic and Atmospheric Administration, 261 people died in the US after being struck by lightning between 2006 and 2013.
Children, however, are at particular risk.
The daughter of US boxer Mike Tyson died after becoming entangled in the cable of a treadmill, and there are numerous cases of children suffering severe friction burns after trapping fingers and hands in the revolving belt.
Australia has even launched a public campaign on the dangers of treadmills to young children.
Men running at treadmills
Regardless of risks, experts say exercise is better than inactivity 
Few gym companies in the UK approached for information responded, but LA fitness said that the number of people injured on treadmills was "low - just 2% of all our accidents".
The company recommends being properly inducted on machines, knowing the safety features, having water at hand and not looking at your feet when you are running as among the best ways to stay safe.
And any inherent risks in with exercise need to be contrasted with the risks of inactivity.
Advice on exercising can appear confusing - one recent report suggested that intensive training may be as bad as not jogging at all.
But World Health Organization advice remains that adults should do at least 75 minutes of vigorous exercise a week.


Why an Iron Fish Can Make You Stronger

In the villages of Kandal province, instead of bright, bouncing children, Dr Charles found many were small and weak with slow mental development.
Women were suffering from tiredness and headaches, and were unable to work.
Pregnant women faced serious health complications before and after childbirth, such as haemorrhaging.
Ever since, Dr Charles has been obsessed with iron.
Anaemia is the most common nutritional problem in the world, mainly affecting women of child-bearing age, teenagers and young children.
In developing countries, such as Cambodia, the condition is particularly widespread with almost 50% of women and children suffering from the condition, which is mainly caused by iron deficiency.
The standard solution - iron supplements or tablets to increase iron intake - isn't working.
The tablets are neither affordable nor widely available, and because of the side-effects people don't like taking them.

Lump of iron

Dr Charles had a novel idea. Inspired by previous research which showed that cooking in cast iron pots increased the iron content of food, he decided to put a lump of iron into the cooking pot, made from melted-down metal.
Children holding an iron fish in Cambodia
Half of the villagers who used the iron fish in cooking were no longer anaemic after a year
The lucky iron fish
The iron fish is modelled on a species commonly eaten in Cambodia 
His invention, shaped like a fish, which is a symbol of luck in Cambodian culture, was designed to release iron at the right concentration to provide the nutrients that so many women and children in the country were lacking.
The recipe is simple, Dr Charles says.
"Boil up water or soup with the iron fish for at least 10 minutes.
"That enhances the iron which leaches from it.
"You can then take it out. Now add a little lemon juice which is important for the absorption of the iron."
If the iron fish is used every day in the correct way, Dr Charles says it should provide 75% of an adult's daily recommended intake of iron - and even more of a child's.
Trials on several hundred villagers in one province in Cambodia showed that nearly half of those who took part were no longer anaemic after 12 months.

'Better than tablets'

Prof Imelda Bates, head of the international public health department at Liverpool School of Tropical Medicine, says the iron fish is a welcome development.
"These sort of approaches are so much better than iron tablets, which are really horrible.
"If it's something that is culturally acceptable and not too costly, then any improvement to anaemia levels would be of great benefit."
Around 2,500 families in Cambodia are now using the iron fish and the Lucky Iron Fish company has distributed nearly 9,000 fish to hospitals and non-governmental organisations in the country.
What pleases Dr Charles most is the fact that villagers appear to have accepted the smiling iron fish, which is 3in (7.6 cm) long and weighs about 200g (7.1 oz).
An iron fish being stirred into soup in Cambodia
Cambodian villagers are encouraged to boil up water with the 3in iron fish in the pot 
One woman and her daughter, who are part of a current trial in Preah Vihear Province, told the BBC they would use it during cooking.
"I'm happy, the blood test results show that I have the iron deficiency problem, so I hope will be cured and will be healthy soon.
"I think all the people in Sekeroung village will like the fish, because fish is our everyday food."

Scale of anaemia

The World Health Organization estimates that two billion people - over 30% of the world's population - are anaemic, mostly due to iron deficiency.
It says stopping iron deficiency is a priority - for individuals and countries.
"The benefits are substantial. Timely treatment can restore personal health and raise national productivity levels by as much as 20%," it has said.
And it emphasises that it is the poorest and most vulnerable who stand to gain the most from its reduction.
But there are other forms of anaemia. It can also be caused by vitamin B12 and A deficiencies, parasitic infections, such as malaria, and other infectious diseases.
That is when it gets complicated, says Prof Bates.
"Anaemia is a multi-factorial problem. It's the end product of many different health issues.
"And measuring whether people have enough iron or not in their bodies is very difficult in developing countries," she said.
As a result, she says, knowing how many people really are iron deficient isn't easy to work out.

Rice diet

In those with iron-deficiency anaemia, the cause is often poor diet. And that's the case in Cambodia, Dr Charles says.
"They have a really poor diet - a big plate of white rice and maybe a small cut of fish.
vegetables and fruit
Spinach is not as rich in iron as red meat
"That's their two meals a day. And it's just not meeting their nutritional requirements."
What's missing from their diet are iron-rich foods, particularly red meat. Green leafy vegetables, such as spinach, are not as rich in iron and mustn't be overcooked if they are to offer any benefit at all.
The Lucky Iron Fish project has a plan to get fish to every part of the world that needs them, including countries like Canada, the US and Europe.
So should everyone be putting recycled metal car parts in their soup?
According to the experts, there is no reason not to - although levels of anaemia are far lower in developed countries, and there is easier access to iron-rich foods which can make all the difference to pregnant women and vegans, for example.
We could all eat iron filings instead, of course, but they wouldn't taste half as nice.

What does iron deficiency do to the body?

Iron deficiency anaemia is a condition where a lack of iron in the body leads to a reduction in the number of red blood cells.
Iron is used to produce red blood cells, which help store and carry oxygen in the blood.
If there are fewer red blood cells than normal, your organs and tissues will not get as much oxygen as they usually would.
This means you can suffer from tiredness, shortness of breath, heart palpitations and a pale complexion.
If left untreated it can make people more susceptible to illness and infection.
Pregnant women and children are particularly vulnerable. Anaemia is thought to contribute to 20% of all deaths during pregnancy.
Source: World Health Organization